Jumat, 14 Agustus 2009

Pernikahan

Katekisasi GPIB

Setelah beberapa minggu kita membahas seri Muda/i maka bagian ini diakhiri dalam pernikahan. Dalam Kej. 1 : 26, 27 dikatakan bhw manusia diciptakan Allah laki-laki dan perempuan. Mereka adalah serupa dan segambar dengan Allah. Serupa dan segambar dengan Allah itu bukan dimaksudkan semata-mata ttg rupa dan air muka seseorang tetapi penulis kitab Kejadian lebih menitikberatkan pada “hubungan dialogis” dan hubungan “kasih sayang” antara Allah dan manusia. Makna hubungan itu demikian: Allah bertanya, dan manusia menjawab, atau manusia meminta dan Allah memberi. Namun dialog itu selalu harus berlangsung dalam suasana kasih dan kesetiaan.

Selanjutnya dikatakan bahwa Allah melihat manusia itu seorang diri saja lalu Ia menciptakan seorang perempuan dari tulang rusuk laki-laki (Kej, 2 : 18-24) Allah mengambil prakarsa untuk menciptakan “penolong” yg sepadan dengan diri manusia laki-laki. Allah membantu manusia laki-laki mengenal dirinya sendiri melalui “gambarnya” pada diri seorang manusia perempuan. Jadi manusia menjadi seseorang berpribadi bila ia berjumpa dengan sesamanya. Dengan kata lain Ke laki-laki an seorang pria (sifat, watak, sikap) tidak akan berkembang bila tidak ada perempuan, sebaliknya ke-perempuan-an seorang wanita (sifat, perasaan, kelembutan, kelemahan) tidak akan berkembang bila tidak berjumpa dengan manusia laki-laki. Dealam hubungan laki-laki dan perempuan seluruh kepribadian manusia seutuhnya akan nampak jelas. Dengan demikian yg disebut manusia seutuhnya adalah laki-laki dan perempuan, sepasang manusia.

Jadi pernikahan haruslah berangkat dari dasar pandngan yg benar ttg hubungan antara manusia dengan Allah dan antara manusia dengan pasangannya. ” Dalam pernikahan manusia laki-laki dan perempuan dipersatukan dalam satu ikatan cinta kasih” Dalam pernikahan mereka melanjutkan “kasih mesra” mereka secara “bebas” dan bertanggungjawab.

Pernikahan sebagai peristiwa sosial

Pernikahan dalam pandangan orang percaya merupakan suatu kesepakatan sosial yg diberi dasar hukum dan diisi dengan makna religius. Jadi pernikahan adalah suatu peristiwa sosial yg diresmikan melalui kekuasaan hukum tertinggi masyarakat, sedangkan gereja berperan sebagai lembaga keagamaan yg memohonkan berkat Tuhan bagi pasangan yg telah diresmikan oleh lembaga tertinggi tsb. Kita sebagai warga masyarakat yg hidup kita diatur oleh hukum dan aturan masyarakat, maka sebagai warga masyarakat wajib mentaati hukum tersebut. Karena itu pernikahan antar warga masyarakat harus disyahkan sesuai dengan aturan dan undang-undang yg berlaku dalam masyarakat.

Pernikahan dilihat dari iman Kristen.

Pernikahan Kristen tidak terlepas dari kesaksian Alkitab (Kej. 2 : 18, 21-24 dan meyakini hal itu sebagai campurtangan Allah sendiri dalam kehidupan pernikahan mereka. Berdasarkan karya Allah itu mereka yg memulainya dengan “kasih Allah” harus berjanji bahwa apa yg telah disatukan oleh Allah tidak boleh dipisahkan/diceraikan oleh manausia (Mat. 19 : 6). Dengan demikian pernikahana harus diyakini bahwa Allah ikut campur tangan dalam kehidupan mereka karena itu pernikahan harus dipelihara keutuhannya dengan kasih dan iman. Dalam Hosea 2 : 15, 19, Ef 5 : 22 – 33 melukiskan pernikahan sebagai lambang hubungan kasih Allah dengan umatNya. Lambang ini mengarah kepada hubungan saling mengenal antara kedua orang dalam kasih sayang yg berlangsung pada “hubungan suami-istri”. Oleh karena itu setiap pernikahan dalam pandangan iman Kristen harus mencerminkan kasih Allah yg menyelamatkan manusia, sehingga kesadaran itu mendorong manusia yg menikah supaya memelihara kekudusan pernikahan mereka yg telah diberkati Allah.

Tidak ada komentar: